Permen karet… aku
masih ingat ketika dia memainkan permen karet dalam mulutnya. Sungguh itu
membuatku jijik berada di dekatnya. Tetapi kini aku mengerti itu justru jadi ciri
khas dirinya. Namanya Rama tetapi aku
lebih akrab memanggil teman kecilku itu Ara. Kami berteman sejak usia kami 10
tahun.
Saat itu ayahku bekerja dengan ayah
Ara. Semenjak aku mengenal Ara kami selalu bersama. Awalnya aku dan Ara tak
seakrab saat ini. Kata ayahku setiap ayah pulang bekerja Ara selalu memaksa
untuk ikut. Atas seijin ayah Ara ayah pun memperbolehkan Ara untuk tinggal di
rumahku.
Saat itu aku benar-benar kesal pada
ayah karena menurutku semenjak Ara
tinggal serumah denganku perhatian ayah padaku berkurang bahkan terkadang ayah
lebih membela Ara daripada aku. Ayah lebih menyayangi Ara. Apapun yang Ara
inginkan selalu ayah turuti, sedangkan aku di nomor duakan.
Karena aku merasa iri akhirnya aku
meminta ayah untuk membawa Ara pulang ke rumahnya. “ayah menyayangi Ara sama
seperti ayah menyayangi Vena”, kata ayah padaku. Aku menangis seraya memeluk
ayahku. Tetapi ayah tetap membawa Ara pulang ke rumahnya.
* * *
Aku bergegas lari menuju halaman
rumah ketika aku mendengar suara mobil ayahku. Aku lihat ayah turun sambil
membawa sesuatu di tangan kanannya. Ayah tersenyum kepadaku. “Apa itu ayah?” …
sebuah boneka cantik untukku. “Ini dari Ara untuk Vena. Kata Ara dia ingin
bermain sama Vena,” kata ayah. Aku memeluk erat ayah.
Sejak saat itu aku lihat ayah selalu
membawa Ara pulang ke rumah. Tidak seperti dulu aku merasa senang melihat Ara
datang dan dengan ciri khasnya yaitu permen karet di mulutnya. Ara turun dari
mobil dan berlari ke arahku. Kami jadi sering bermain bersama, aku juga tisak kesepian
lagi ketika berada di rumah.
Hingga suatu hari ….
Datang kabar buruk
dari keluarga Ara. Ayah Ara kecelakaan dan kabarnya sekarang masuk rumah sakit.
Saat itu pikirku kalau orang masuk rumah sakit itu berarti orangnya sakit
parah. Mendengar itu aku yang sedang asyik bermain di taman bersama Ara
langsung bergegas menuju rumah sakit bersama ayah dan ibuku. Aku kasihan pada
Ara, sedari rumah ia terus saja menangis dan memanggil-manggil ayahnya. Oh...
Ara! Aku tahu benar perasaanmu saat ini, oasti kau terpukul bukan?
Ketika sampai di rumah sakit kami
langsung menuju ruang IGD. Terlihat ayah
Ara terbaring didalam sana, tak bergerak… “ Ayah… ayah... ini Rama, bangun Ayah
lihat Rama.” Rengekan Ara membuatku tak kuasa melihatnya.
* * *
Seminggu setelah itu, kondisi ayah
Ara semakin membaik. Aku senang melihat Ara kembali tersenyum, walaupun Ara tak
sempat bermain ke rumah tapi aku mengerti Karena dia juga ingin menemani
ayahnya. Dengan seijin ayah, sepulang dari sekolah aku selalu menjenguk ayah Ara.
Waktu berlalu… harapan ku ayah Ara
diperbolehkan pulang ke rumah. Tetapi kondisinya justru memburuk. Aku dengar
penyebabnya karena ayah Ara shock mendengar proyeknya dibatalkan oleh rekan
bisnisnya. Hal itu membuat ayah Ara melemah dan mempengaruhi kesehatannya.
Malam ini aku dan ayah menemani Ara
dirumah sakit. Aku tak bisa tidur. Aku terus memandangi wajah imut Ara yang
sedang tidur. Lucu sekali… tiba-tiba aku lihat ayah Ara menrintih kesakitan.
Aku panic dan tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku membangunkan ayahku dan
Ara. Ayah langsung memanggil dokter. Ayah Ara kejang-kejang. Aku takut,
sedangkan Ara terus memeluk ayahnya dan menangis. “Ayah… ayah kenapa? Bilang
sama Rama mana Yah yang sakit?” sungguh ini pemandangan yang membuat aku tak
mampu menahan air mataku. Aku pun ikut menangis. “ Om kenapa Yah?” tanyaku pada
ayah. Ayah hanya diam dan mengendong aku. Aku terus menangis melihat kondisi
ayah Ara yang seperti itu.
Setelah 2 menit lamanya dokter
memeriksa ayah Ara. Kulihat ayah Ara kaku dan tak bergerak. Aku tak mengerti
mengapa dokter menyelimuti ayah Ara sampai ke kepala nanti ayah Ara tidak bisa
bernafas. Kemudian dokter itu berkata pada ayahku “ Maaf Pak, kami sudah
usahakan yang terbaik, tetapi Tuhan berkata lain.” Dokter itu bilang apa ke
ayah kenapa ayah menangis dan memelukku dan juga Ara. “Ayah kenapa Pak?” Tanya
Ara. “Ayahmu sudah tiada Nak.” “Meninggal maksud ayah? Ayah Ara meninggal?”
ayah mengangguk. Kau pasti tahu perasaan Ara bukan! Yah.. aku tahu rasanya.
Benar-benar berat.
Hari ini pemakaman ayah Ara. Dua jam
lebih Ara menangisi makam ayahnya. Dia benar-benar berbeda. Seharian Ara terus
menangis. Bahkan Ara juga tidak mau sekolah, Ara memilih mengurung diri di
kamarnya. Seminggu terakhir ayahku menginap dirumah Ara untuk menemani
Ara. karena sepeninggalan ayah Ara rumah
itu hanya dihuni 3 orang saja, yaitu Ara, tukang kebun, dan juga bibi. Kata
ayahku sudah dua hari Ara tidak mau makan.
Aku kasihan pada Ara. Aku ingin
sekali menghiburnya. Kemudian aku dengar bahwa Ara jatuh sakit dan dirawat di
rumah sakit, aku diajak ayah untuk menjenguk Ara. Ara terbaring di atas tempat
tidur. “Hay Ara? apa kabar?” Ternyata Ara merespon pertanyaanku. Kami berdua
pun terhancur dalam cerita kami. Dan akhirnya lama-kelamaan kondisi Ara membaik
dan diperbolehkan untuk pulang. Senangnya.. Ara mau menginap lagi di rumahku.
Selama di rumahku Ara bisa kembali tertawa dan bermain lagi denganku.
Lima bulan berlalu …
Karena kini Ara
yatim-piatu. Jadi ayah dan ibuku memutuskan untuk mengangkat Ara sebagai anak
mereka. Sekarang aku jadi punya seorang kakak deh. Kami dibesarkan oleh ayah
dan ibu tanpa membeda-bedakan, kasih saying orang tua ku juga sama seperti
dahulu.
*
* *
Hingga aku dan Ara tumbuh dan
berkembang menjadi remaja seperti saat ini. Ara tetap jadi kakakku. Dia baik,
penyabar, bahkan dia juga sering menegurku kalau aku punya salah. Kini kami
hidup bersama menjadi keluarga yang bahagia.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar