Kamis, 20 November 2014

BURUNG KERTAS

Setiap goresan kuas yang ku mainkan di atas kanvas. Semua itu penuh dengan makna. Hamparan kebun teh yang tepat berada di depan mataku, ku tuangkan perlahan ke atas kertas putih. Menghilangkan segala isi pikiranku. Seandainya hidup sesejuk ini, pasti semua orang takkan pernah merasa kesal. Tapi ini berbeda dengan kenyataan yang ada. Perlahan tapi pasti, ku mulai mengoreskan warna hijau. Tiba-tiba konsentrasiku terbuyarkan oleh suara nyanyian merdu. Ku ikuti arah suara itu, kulihat dari balik pohon seorang gadis bernyanyi. Aku terhipnotis oleh suaranya.
Tetapi ketika aku akan menghampiri dia, gadis itu justru berlari saat melihatku. Aku berusaha mengejarnya. Terlambat. Aku kehilangan jejaknya. Aku pun kembali ke tempatku. Semalaman ini aku terus terbayang-bayang gadis itu. Aku terus memikirkan dia. Bahkan suaranya terus mengusik telingaku. Membuat aku tak mampu tidur. Ku pejamkan mataku hingga terlelap ku tertidur dalam lelah. Esok harinya aku kembali ke kebun teh. Aku berharap dapat bertemu kembali dengan gadis itu. Aku yakin dia ada di sana. Ya, dia ada di sana, duduk di atas ayunan. Aku bergegas mengeluarkan pensil dan kertasku. Aku diam-diam melukisnya. Ketika aku sedang melukis dan mengagumi kecantikannya, tiba-tiba gadis itu sudah pergi entah kemana. Aku berusaha mencarinya namun tak ku temukan dia. Aku merobek gambar yang belum ku selesaikan,kemudian aku tinggalkan gambar itu di ayunan. Aku pun pergi. Dua hari aku tak mengunjungi tempat itu, dan waktu aku kembali ke tempat itu kulihat sesuatu tergantung di atas ayunan tepat di mana aku meninggalkan gambaranku kemarin. Aku pikir itu kertas gambarku kemarin, ternyata itu sebuah burung kertas. Apa maksudnya? Aku hanya tersenyum. Kemudian aku pergi meninggalkan tempat itu. * * * Seminggu kemudian aku datang kembali ke tempat itu. Ku lihat gadis itu bermain ayunan, aku menghampiri dia. Kali ini dia tidak lari saat melihat ku menghampiri dia. Aku tersenyum dan menyapanya. Dia juga menyapaku dengan senyuman manisnya. Hari ini pertama kalinya aku mengenal dirinya. Ternyata dia orangnya menarik, lucu, baik, manis lagi. Aku nyaman kalau berada di dekatnya. Hari ini kami lewati berdua dengan canda tawa. Dia juga banyak cerita tentang kehidupan dia. Aku pun sebaliknya. Kami saling berbagi cerita. “Lalu kenapa kamu sering sekali datang ke tepat ini?” tanyaku. Dia menjawab pertanyaan ku itu dengan senyumannya. Entah kenapa dia begitu suka membuat burung kertas. Katanya suatu hari “burung kertas itu unik walaupun dia itu berbeda”. Jujur sebenarnya aku tak mengerti maksud ucapannya tetapi aku hanya mengganguk dan tersenyum padanya. Setelah mengenal dia, hari-hariku yang membosankan berubah menjadi lebih berwarna. Mungkin karena burung-burung kertas yang ku buat bersama dia atau mungkin karena aku memang jatuh cinta pandang pertama. * * * Waktu berjalan seiring aku mengenal gadis itu. Tiga bulan terakhir aku disibukkan dengan keseharianku. Ya, melukis. Dan selama tiga bulan itu aku tak bertemu dengan gadis itu. Kali ini aku bermaksud untuk menemui gadis itu. Kulihat dia sedang duduk memandang hamparan kebun teh yang hijau. Aku memberikan kejutan padanya, aku menutup matanya. Dia tak terkejut, sepertinya dia mengetahui kedatanganku sebelumnya. Kami duduk berdua seharian itu, menghabiskan hari berdua. Memandang indahnya senja hingga malam tiba. Malam semakin larut, aku mengajaknya untuk pulang, dia menurut saja. Aku mengantarnya pulang sampai di depan rumahnya. “Makasih ya udah nganterin aku”, katanya dengan senyuman yang menghiasi bibirnya. Sungguh senyuman itu membuatku tak bisa jauh-jauh meninggalkan dia. Aku segera pamit dan pulang. Hari berikutnya aku bertemu lagi dengan gadis itu. Kali ini aku sengaja membawa setangkai mawar putih kesukaannya dan juga sebuah burung kertas. Dia tampak senang menerimanya. Dan hari ini kami habiskan memandangi danau yang terletak tak jauh dari kebun teh. Aku kaget karena melihat dia tiba-tiba menangis. Aku berusaha menenangkan dia, aku ingin tahu apa yang dia rasakan. Sungguh aku khawatir dengan dia. Dia mengajakku menepi. Duduk di atas batu. Memandang jauh bukit hijau yang terhampar di depan danau. Inilah anugrah Tuhan. Hening, beku. Dia hanya terdiam membisu, kulihat air matanya kembali jatuh membasahi pipinya. Aku mengusapnya dan merangkulnya. Mencoba untuk menenangkan dia, aku ingin merasakan kesedihan yang dia rasakan saat ini. Aku mencoba untuk memecah keheningan. “Kamu kenapa? Cerita sama aku, mungkin aku bisa bantu”, hiburku. Dia tetap hanya diam. Ku biarkan suasana seperti ini sampai dia benar-benar ingin bicara. Aku memeluknya erat-erat. “Apa kamu percaya cinta?” katanya. Aku diam, aku juga bingung. Dia menatapku tajam meninginkan aku menjawab pertanyaannya itu. “Entahlah. Karena aku tak pernah punya cinta. Kamu sendiri percaya cinta?” jawabku. Dia juga hanya diam. Ku biarkan dia terus diam. “Cinta. Beritahu aku apakah cinta itu nyata?” katanya. Aku memandang dia, menatap matanya dalam-dalam. “Cinta itu nyata, dan aku akan buktikan kalau cinta itu ada, sama kamu.” Aku kembali memeluknya. Kini aku benar-benar yakin kalau aku memang jatuh cinta pada gadis ini. Aku berjanji akan menjaganya sampai maut yang memisahkan aku dan dia. * * * Hari-hari setelah waktu itu, aku tak lagi melihat dia di tempat itu. Aku mendatangi rumahnya, tetapi sia-sia. Aku khawatir dengannya. Malam ini ku sibukkan untuk melukis wajah gadis itu hingga larut malam. Mataku pun tak mampu ku pejamkan. Aku terus memikirkan keadaan gadis itu. Kini hari-hariku kembali seperti dulu tanpa dia di sampingku. Tiap waktu aku selalu mendatangi kebun, ku hanya berharap dia di sana. Tapi satu minggu berjalan tak ada kabar darinya. Gelisah, itu yang selalu aku rasakan. Awan mendung menghiasi langit, seperti perasaan ku yang kalut. Aku rindu pada gadis burung kertas itu. Aku berjalan mengikuti langkah kakiku membawa tubuhku. Membawa ku ke kebun. Aku terkejut saat aku menemukan satu burung kertas yang jatuh dari atas ranting pohon. Aku mengambil burung kertas itu. Tiba-tiba aku mendengar suara merdu. Seorang gadis duduk di atas ayunan sambil berrnyanyi. Ku harap itu dia, aku menghampiri dia. Betapa senangnya aku karena gadis yang saat ini berada tempat di depan mataku adalah dia. Gadis itu tersenyum. Aku rindu senyuman manis itu. Aku langsung memeluknya. Rasanya tak ingin ku lepaskan pelukan ini, tapi gadis itu melepas pelukan ku. Dia mengajakku duduk. Aku terus memandangi dia, sebenarnya dia menyadari itu, tapi dia membiarkanku. Hening. Aku membiarkan keadaan seperti ini, aku tak peduli. Yang ku pedulikan saat ini hanyalah dia ada di sampingku. “Aku ke sini mau membahas pernyataanmu waktu itu, kalau cinta itu nyata. Kamu salah besar akan pernyataan itu. Yang orang sebut cinta itu tak pernah ada”, jelasnya. Aku tak menanggapi perkataannya. Tiba-tiba dia beranjak pergi. Menyadari itu, aku menahan dia pergi. Aku menarik tangannya. “Aku nggak mau kehilangan kamu untuk yang kedua kalinya, aku mohon tetaplah tinggal”, cercaku berharap dia akan duduk kembali. Ternyata tidak. Dia tetap pergi. Ku pandangi dia pergi, aku tak mampu berbuat. * * * Malam ini aku terus memikirkan kejadian siang tadi. Apa dia marah karena aku tak memperdulikan perkataannya tadi. Aku menyesal. Benar-benar menyesal. Aku takut esok dia tak kan kembali ke tempat itu. Aku memandangi lukisan ku, ide baru tergambar di pikiranku. Aku menunggu waktu esok hari. Dan keesokan harinya, aku segera berjalan menuju kebun. Aku menunggu dia datang. Menunggu dan terus menunggu. Hingga berjam-jam ku lewati untuk menunggu dia datang. Tetapi hari mulai senja. Perlahan matahari mulai bersembunyi dibalik bukit. Aku putus asa. Kecewa. Aku pulang. Saat aku akan melangkahkan kakiku, gadis itu datang. Aku segera menghampirinya. “Maafkan sikapku kemarin ya. Aku punya sesuatu buat kamu.” Aku memberikan lukisan wajahnya yang ku lukis beberapa waktu lalu. Rupanya dia menyukai lukisanku. Kami duduk menunggu malam datang. “Kemarin kamu kemana aja,” tanyaku mencairkan suasana. Dia diam tak mau menjawab. Kali ini aku mencoba menguasai suasana agar dia tak lagi pergi meninggalkan aku. “Apa kamu tahu arti cinta?” tanyanya. Aku menghela nafas panjang. “Cinta, walaupun aku tak tahu apa itu cinta tapi aku tahu cara menjaga cinta,” jawabku lantang. Dia melirikku, tapi aku hanya tersenyum. “Lalu kamu percaya Tuhan itu adil?” katanya lagi. Aku mulai bingung. Kini giliran aku yang melirik dia. “Adil. Karena dia udah ciptain kamu ke dunia ini.” Suasana kembali hening. Kali ini dia begitu berbeda. Menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan aneh. “Aku nggak setuju sama pernyataan kamu”, katanya. “Kenapa?” Dia hanya diam. Aku semakin bingung. Dia mengeluarkan beberapa burung kertas. “Kamu pernah bertanya kenapa aku menyukai burung kertas bukan. Itu karena burung kertas ini yang akan mengantarku nanti.” “Mengantarmu? kemana?” tanyaku. “Entahlah. Aku pun tak tahu pastinya.” Dia membuatku semakin penasaran. Karena sudah larut malam kami pun pulang. Next time … Di tempat yang sama. Aku dan dia duduk berdua. Lagi. “Dulu aku berjanji akan menunjukkan bahwa cinta itu nyata bukan. Tapi aku minta kamu bantu aku”, kataku. “Bantu apa? Aku nggak pernah mengerti cinta itu seperti apa, lalu aku bisa bantu kamu apa?” katanya. Aku memegang tangannya. “Bantu aku mencintai kamu. Aku janji akan jagain kamu sampai maut yang misahin kita.” Dia memandangiku. Menangis. “Ta .. ta.. tapii aku sakit. Aku sakit. Kamu tahu aku sakit apa? Kanker paru-paru. Dan aku udah nggak lama lagi di sini.” Aku terkejut mendengar perkataannya. Entah harus percaya atau tidak. Tapi ini nyata. Aku memandangi dia, memeluknya. “Aku .. aku.. tetap akan selalu ada di sini. Dekat dengan kamu”, kataku masih erat memeluk dia. Dia menangis sejadi-jadinya. Yang ku tahu selama ini dia begitu tegas, ceria tapi kali ini dia benar-benar berbeda. Selama itu aku dan dia terus bersama. Kami terus membuat burung kertas. Aku ingin melihat senyum terakhirnya bersamaku. Melukis wajahnya, menemani sisa waktunya. Menunggu burung-burung kertas ini membawanya terbang ke satu tempat yang jauh lebih indah. Satu per satu lipatan burung-burung kertas ini kami kumpulkan, kini sudah berkembang menjadi 1000 burung kertas. Dalam burung-burung kertas ini ku ukir arti cinta ku kepadanya. Aku mengerti cinta karena dia. The End !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar