Minggu, 23 November 2014

PEDULIKAN IBU PADAKU?

        Malam ini tubuhku terasa lunglai. Ditambah lagi penat dan letih yang kurasakan. Air hujan yang terus menerpa wajahku. Ingin rasanya aku kembali ke rumahku. Karena malam pun semakin larut, namun kuurungkan niatku. “untuk apa aku kembali? Siapa yang peduli kalau aku pergi?” pikirku. Saat itu memang bulan suci ramadhan tapi aku bosan, aku bosan selalu ditanya oleh pertanyaan-pertanyaan yang membuat ku  tak ingin kembali ke rumah.
        Saat itu bedug Magrib telah berkumandang,  saat buka puasa telah tiba. Sendiri, dan tak ada yang peduli. Dan saat itulah aku akan dihujani oleh 1000 pertanyaan yang membuatku serasa tak berguna. “adikmu kemana Dis?” Aku tak memperdulikan pertanyaan itu. “adikmu sudah buka puasa belum Dis?”
Yah, memang aku anak tertua. Tetapi apakah kodratku itu adalah anak yang tak penting di mata ibuku. Kenapa setiap detik, tiap menit ibu hanya mengingat adikku saja, sedangkan aku ia biarkan.
       
        Aku pernah berfikir untuk pergi dari rumah. Saat itu masih bulan suci ramadhan, disaat bedug magrib tiba aku belum pulang, karena khawatir akan dicari oleh ibuku akhirnya aku putuskan untuk pulang. Hari itu belum seteguk air dan sesuap nasi masuk ke dalam mulutku, aku terlalu sibuk memikirkan kekhawatiran ibuku. Aku membawa motorku secepat kilat. Namun hujan deras menguyurku ditengah jalan. Aku nekad menerobos hujan agar ibuku tidak khawatir padaku. Walau aku harus jatuh sakit dan kedinginan di malam itu, namun aku berjuang untuk ibuku.
        Sampainya di rumah dalam kondisi basah kuyup dan kedinginan. Ku lihat ibu sedang duduk di depan rumah, aku pikir dia menunggu kepulanganku, tetapi ternyata tidak. Dia tak memperdulikan aku yang basah kuyup kehujanan. Aku hanya ingin dia peduli padaku. Setidaknya bertanya sudahkah aku berbuka puasa atau dari mana aku? Atau menyuruhku untuk segera mandi atau apalah sekiranya hanya untuk menyambut kedatanganku. Aku hanya mampu diam. Mungkin ini memang nasibku. Aku pun bergegas mandi dan mengganti bajuku. Setelah itu aku mencari makan untuk berbuka puasa, tapi tak ada sedikitpun makanan yang bisa ku makan untuk berbuka puasa. Aku memilih diam dan masuk ke kamar. “Jikalau makanan habis olehku pasti aku akan dimarahi habis-habisan, tapi saat aku belum makan adakah yang tahu?”
Aku hanya menangis dan melanjutkan untuk sholat magrib.

        Jika suatu hari nanti hati ini bertanya pada perasaan, tanpa berpikir panjang aku akan menjawabnya dengan seluruh air mata yang pernah jatuh karena ibuku. “adakah yang peduli padaku?” aku akan menjawabnya “TIDAK  ADA”. Dan jika suatu hari nanti mata hati ini bertanya, ”siapa yang aku benci dan aku sayangi di dunia ini?” Jawabannya hanya satu yaitu ” IBU”

        Aku menyayangi ibuku karena memang dialah ibuku, tapi aku juga membencinya karena dia tak pernah peduli padaku. Aku berusaha menerima pernyataan pahit ini , tapi rasa benciku tak bisa ku lawan. Akhirnya aku putuskan untuk pergi dari rumah.
       
        Tiga hari berlalu. Aku tak pernah menginjakkan kakiku kembali ke rumah. Tapi aku tak bisa berbohong kalau sebenarnya aku merindukan ibuku. Aku pun pulang untuk mengambil baju dan kebutuhanku. Sungguh tak ku sangka kalau ibuku benar-benar tak peduli padaku. Melihat aku pulang, ia pun hanya diam tanpa  ingin tahu keberadaan ku selama ini. Tak kuasa aku melihat perlakuan ibu padaku. Akhirnya setelah mengemasi barang-barangku, aku pergi lagi dengan air mata yang terus menetes ke pipiku.
“Ibu, sehina itu kah aku di matamu”. Itu terakhir kalinya aku menginjakkan kakiku kembali ke rumah. Aku berjanji pada diriku bahwa aku tidak akan mengingat kalau aku pernah punya seorang ibu dan keluarga.

        Tiga tahun pun berlalu …
Aku senang dengan hidupku saat ini. Jauh dari ibu. Aku tahu ibu pasti sudah bahagia tanpa aku di kehidupannya. Terbukti bahwa selama tiga tahun terakhir ini dia tak pernah mencariku. Dan saat ini aku sudah sukses menjadi seorang penulis.
Hingga suatu hari aku mengikuti sebuah motivatoring. Saat itu mengambil tema “Renungan ibuku”. Saat itu juga aku ditanya “sayangkah kau pada ibumu?” Munafik kalau aku menjawab Ya, tapi aku sungguh tak bermaksud untuk membenci ibuku. Dan di depan semua orang aku menjawab Tidak. Semua mata tertuju padaku. Aku pun berdiri dan memberikan satu kisah hidupku pada mereka sekaligus menjadi penjelasan atas jawabanku. Semuanya menangis. Tumpahan air mata yang justru membuatku semakin sadar ternyata aku juga membutuhkan ibuku.

        Aku menutup mataku atas ibuku, tapi sejujurnya aku menyayangi dia, aku rindu pada ibuku. Rindu di belai tangannya, rindu akan kasih dan sayangnya. Pertanyaan untuk ibuku “Ibu, ingatkah ibu padaku? Rindukah ibu padaku?” dan kemudian aku larung secarik kertas. Yang harapannya ibu akan tahu bahwa aku begitu menyayangi dia, aku merindukan kasih sayangnya. Aku juga peduli pada ibuku.

1 komentar: