Di tengah-tengah derasnya hujan, ku langkahkan kaki menyusuri lorong-lorong kota sempit. Tanpa tujuan yang jelas. Aku terus berjalan, setapak demi setapak jalan, gang satu ke gang yang lain. Di bawah llindungan payung merah tua peninggalan nenek yang telah meninggal dua bulan lalu. Payung yang meninggalkan sebuah kenangan indah. Langkahku terhenti di salah satu gang itu, melihat canda tawa anak kecil yang senang menyambut datangnya hujan. Ku ingin merasakan kebahagiaan mereka. Masa kanak-kanak memanglah sangat menyenangkan. Ku lanjutkan mengikuti kaki yang membawaku ini, putus asa aku melawan semua.
Langkah kaki ini membawaku menuju depan pintu rumah. Ku letakkan payung tua itu di depan teras rumah. Bergegas aku masuk dan menuju ke dalam ruangan yang selalu menemaniku disaat-saat aku terpuruk. Ya, itulah kamarku tercinta. Tempat di mana aku merenungkan nasibku. Penderitaan bahwa aku harus divonis mengidap kanker otak yang karena penyakit itu, kini hidupku harus tergantung pada butir-butir obat yang sejujurnya sangat menyiksa diriku. Namun, demi semangat hidupku, aku berusaha tegar. Aku memang pernah putus asa.
Lambat laun aku menyadari bahwa terpuruk dalam keputusasaan itu hanya akan membuat batinku tersiksa.
Dua tahun sudah aku melawan kanker otak ini, tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku. Aku melakukan itu karena tak ingin menjadi beban untuk mereka. Hanya aku dan tetap akulah yang boleh tahu. Aku mulai memotivasi diri agar kuat walau terkadang menyerah akan hidup, tapi aku bukan si lemah. Pernah aku berfikir untuk berhenti meminum obat-obatan yang justru membuatku tertekan, tapi ternyata aku semakin parah. Obat-obatan sialan itulah yang membuatku bak mengonsumsi narkoba. Aku tegar, aku kuat, dan aku akan selalu semangat.
Hujan semakin mereda. Waktupun semakin senja. Aku lihat di balik jendela kamar, warna-warni pelangi itu bagai memberikan diriku kekuatan. Ku coba untuk tetap tersenyum.
Berpuluh-puluh detik aku memandang sang pelangi, hingga tak ku sadari bahwa hari mulai beranjak malam. Kini giliran sang bintang yang menemani. Ku tatap bintangku di langit.
“ Oh, bintang buat diriku tetap tersenyum dan tegar, setegar sinar indahmu. Buat aku untuk tak putus asa. Buat aku tak selemah ini,” batinku. Tak aku sadari bahwa air mataku menghujani pipi. Ku usap agar tak menimbulkan arti keputusasaan diriku saat ini.
Ku mulai terpuruk, hatiku tak kuasa menahan sakit, sakit yang harus memaksaku untuk menerima kenyataan pahit dalam hidupku. Aku pasrah kan hidupku kepada-Nya. Aku manusia biasa yang memang harus ini yang ku terima. Aku bangkit. Bangkit melawan keputusasaan, aku menang! Akan ku buktikan bahwa akulah si pemenang bukan si lemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar